GEJALA Deltacron, Covid-19 Bermutasi Lagi, Kombinasi Omicron dan Delta yang Perlu Diwaspadai

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah bermutasi menjadi berbagai varian.

Belakangan Deltacron menjadi perhatian, yang terindikasi memiliki percampuran genetik antara varian Delta 21J/AY.4 dan Omicron 21K/BA.1.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito menjelaskan, penamaan resmi varian ini belum ditetapkan badan kesehatan dunia (WHO).

Data terkait karakteristiknya pun masih sangat terbatas meskipun WHO mambahasnya dalam pertemuan Technical Advisory Group on Virus Evolution atau grup penasihat teknis terkait evolusi virus yang dihadiri para pakar virus di dunia.

"Dampak varian ini terhadap indikator epidemiologi maupun tingkat keparahan gejala belum dapat dipastikan dan masih terus diteliti," Wiku menjawab pertanyaan media dalam agenda keterangan pers di Graha BNPB, Selasa (15/3/2022) yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Menurutnya, tidak memberi ruang penularan, dapat mencegah mutasi virus yang dapat melahirkan varian baru.

Selama virus masih beredar, apalagi dalam tingkat penularan yang tinggi, potensi mutasi virus semakin besar. Dalam bermutasinya, ada berbagai mekanisme. Salah satunya dengan rekombinasi seperti pada varian yang dijelaskan.

Rekombinasi virus ini bukanlah hal baru.

"Untuk itu, dalam masa adaptasi ini, pencegahan penularan ini lebih banyak porsinya pada tanggung jawab setiap individu. Setiap orang wajib melindungi dirinya sendiri dan orang lain, melalui disiplin protokol kesehatan 3M," kata dia.

Sebelumnya, Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, sampai saat ini di tanah air belum mendeteksi kehadiran varian baru ini.

Ia pun meminta apapun jenis varian yang ada, masyarakat harus tetap waspada dengan menjalankan protokol kesehatan serta displin mengikuti vaksinasi.

"Deltacron belum terdeteksi, tapi tetap diwaspadai dengan protokol kesehatan dan mempercepat vaksinasi," tutur Nadia.

Simak penjelasan dokter.

Gejala Covid-19 varian baru kombinasi Omicron dan Delta atau dikenal dengan Deltacron.

Varian Deltacron baru-bari ini mendapatkan atensi publik setelah kemunculannya di Eropa Tengah.

Sejumlah negara di Eropa telah melaporkan adanya varian gabungan tersebut.

Prof. Dr. Zubairi Djoerban, SpPD KHOM selaku Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakah jika bahaya dan tingkat penularan Deltacron belum dapat dipastikan.

Ia juga mengungkapkan, mungkin gejala Deltacron tidak lebih berbahaya dari Omicron.

Namun, hal tersebut belum bisa dipastikan karena jumlah kasusnya masih sangat sedikit. 

Gejala Deltacron

Menurut ahli, varian Deltacron merupakan varian rekombinan yang berarti memiliki fitur dari dua varian Delta dan Omicron.

Kekhawatiran yang hadir yakni akan menyebabkan keparahan seperti Delta dan penyebaran secepat Omicron. 

Namun, sejauh ini tak terlihat seperti yang dikhawatirkan, dan hanya sedikit kasus infeksi yang muncul di Eropa.

Sebuah studi mengatakan jika Deltacron menggabungkan protein spike varian Omicron dan tubuh varian Delta.

Deltacron tengah menghantui dan masih terus diselidiki para ahli terkait gejala dan keparahannya.

Seperti telah diketahui, varian deltacron adalah rekominan atau varian kombinasi Delta dan Omicron.

Adapun gejala dari Delta seperti berikut:

- Demam dan kedinginan

- Sakit tenggorokan atau batuk

- Kelelahan

- Sakit kepala

- Mual

- Kehilangan indera penciuman dan perasa

- Gejala seperti flu biasa

Selanjutnya, gejala Omicron:

- Pilek

- Sakit kepala

- Kelelahan

- Bersin

- Sakit tenggorokan

- Batuk terus-menerus

- Suara serak

- Demam

- Pusing

- Menggigil

- Nyeri otot

- Sakit di bagian dada

- Kabut otak

Kemungkinan, gejala Deltacron adalah kombinasi gejala dari dua varian di atas.

Lantas, seberapa bahaya varian Deltacron?

Mengutip The Guardian, dengan hanya sejumlah kecil kasus Deltacron yang teridentifikasi sejauh ini, belum ada cukup data tentang tingkat keparahan varian atau seberapa baik vaksin melindunginya.

Soumya Swaminathan, kepala ilmuwan di Organisasi Kesehatan Dunia, mentweet pada Selasa:

"Kami telah mengetahui bahwa peristiwa rekombinan dapat terjadi, pada manusia atau hewan, dengan berbagai varian #SarsCoV2 yang beredar."

"Perlu menunggu eksperimen untuk mengetahui sifat-sifat virus ini. Pentingnya pengurutan, analitik, dan berbagi data secara cepat saat kita menghadapi pandemi ini."

"Kita perlu mengawasi perilaku rekombinan ini dalam hal penularannya dan kemampuannya untuk lolos dari perlindungan kekebalan yang diinduksi vaksin,” kata Prof Lawrence Young, ahli virologi di University of Warwick.

“Ini juga berfungsi untuk memperkuat kebutuhan untuk mempertahankan pengawasan genetik."

"Ketika virus terus bersirkulasi, terutama pada populasi yang kurang divaksinasi dan pada orang yang kekebalannya akibat vaksin menurun, kami kemungkinan besar akan melihat lebih banyak varian termasuk yang dihasilkan melalui rekombinasi.”

Menurut UKHSA, varian tersebut tidak menunjukkan tingkat pertumbuhan yang mengkhawatirkan.

"Ini telah terlihat di Inggris beberapa kali, dan sejauh ini tampaknya sangat langka di mana saja di dunia, dengan hanya beberapa lusin urutan di antara jutaan Omikron," kata Barrett.

“Jadi saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan saat ini, meski saya yakin akan terus dipantau," jelasnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel